Kulit Bundar

New Age of Sports Community

Element6
Element6

Tour de France 2022, Negeri Dongeng, dan Budaya Bersepeda


Balap sepeda (road bike) tahunan yang gengsinya luar biasa, Tour de France (TdF), dimulai kembali. Mengapa luar biasa? Karena jika kita cermati detail tahun demi tahun penyelenggaraan TdF, akan menemukan banyak hal baru dari teknologi sepeda hingga nama dan sponsor tim. Lomba tahun ini dimulai dari Copenhagen, ibu kota Denmark, pada tanggal 1 Juli. TdF sudah dimulai sejak tahun 1903. Terdapat tiga etape yang dilangsungkan di Denmark. Etape keempat baru memasuki wilayah Perancis, setelah jeda sehari untuk transfer kegiatan. Total etape yang ditempuh adalah 21 selama 24 hari balapan, dengan 22 tim, dan 54 sponsor, utama hingga lokal. Meski sempat ada insiden penembakan di dekat kantor pusat penyelenggara TdF tahun ini di Bella Centre, yang jaraknya berdekatan dengan lokasi penembakan, etape-etape di Denmark tetap sesuai dengan jadwal.

Foto: Tour de France

Mengapa Denmark? 

Ada dua hal yang selalu teringat di pikiran saya jika berbicara tentang Denmark, merek sepeda kargo ‘Christiania’ dan Hans Christian Andersen. Yang pertama, saya belum memiliki. Yang kedua, saya sudah memiliki. Hadiah ulang tahun berupa buku dongeng saat masih di Sekolah Dasar (SD). Panitia TdF tentu tidak sembarangan untuk memilih Copenhagen sebagai titik awal lomba. Alasan terbesar adalah bersepeda telah menjadi budaya di Denmark.

Saya sempat merasakan budaya bersepeda ala Denmark di Jakarta. Tahun 2014, Duta Besar Denmark untuk Indonesia baru menyerahkan credentials kepada Presiden di Istana Negara. Casper Klynge punya cara yang unik untuk merayakan penempatan baru sebagai Duta Besar. Ia bersepeda bersama saya dan banyak teman dari komunitas bersepeda menuju kantornya di Kuningan. Saya pun baru tahu saat itu, bahwa di Copenhagenada “Jalan Layang Khusus Sepeda” atau Cyckelslangen/The Bicycle Snake yang panjangnya lebih dari 200 meter dengan tinggi 6-7 meter di atas kanal.

Foto: Twitter @DubesDenmark

Mengutip informasi trivia dari Denmark People and Culture Biking, setidaknya ada tiga hal tentang budaya bersepeda di Denmark. Pertama, sembilan dari sepuluh orang di Denmark memiliki sepeda. Kedua, warga Denmark bersepeda rata-rata 1,6 kilometer per hari. Ketiga, pesepeda di Denmark, seperempat dari warganya, menempuh jarak dalam penggunaan sepeda sebagai transportasi pribadi adalah kurang dari 5 kilometer.

Bagaimana Dengan Indonesia?

Jika menghubungkan dengan TdF, ada semacam Woro-Woro dengan judul L’etape Indonesia by Tour de France 2002 di Lombok. Kegiatan tersebut tentu berkaitan erat dengan promosi keindahan alam Mandalika oleh pemerintah Indonesia. Menggabungkan alam Indonesia dengan kegiatan olahraga bersepeda adalah hal yang luar biasa. Apalagi, jika kegiatan sekelas TdF bisa diselenggarakan di Indonesia dan masuk di dalam kalender UCI (Union Cycliste Internationale). 

Mencontoh budaya bersepeda di Denmark memang tidak mudah. Ada tiga hal yang kita bisa kita cermati jika ingin model seperti TdF bisa dilakukan dari atau di Indonesia, yaitu:

  1. Kebijakan publik. Bersepeda belum masuk ke dalam agenda kebijakan di Indonesia. Karena berkendara dengan kendaraan pribadi masih dianggap nyaman, fasilitas transportasi umum yang belum terintegrasi dengan pesepeda, dan tingkat polusi yang masih tinggi. Sedangkan Denmark sudah mengalami perjalanan panjang sejak tahun 1880-an dalam hal bersepeda. Selain itu, ada perkembangan global dengan krisis minyak di tahun 1970-an yang membuat Denmark mulai menjalankan program ‘Car Free Sundays’.
  2. Fasilitas publik. Walaupun sudah ada PerGub DKI Jakarta No.128 Tahun 2019 tentang ‘Penyediaan Jalur Sepeda’ dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No.22 Tahun 2009 terkait ‘Pemisahan Jalur Sepeda’, namun dalam praktiknya sering muncul pelanggaran. Sedangkan Denmark telah memiliki aturan main yang jelas untuk pesepeda. Aturan ini harus ditaati bukan hanya oleh pesepeda tetapi juga oleh pengendara kendaraan bermotor lainnya. Aturan tersebut bertujuan untuk mencegah kecelakaan
  3. Industri. Bisnis sepeda dan perlengkapan sepeda di Indonesia berkembang melalui berbagai merek yang mempunyai sasaran kelas ekonomi tertentu. Begitu pula model bisnis pengantaran yang menggunakan sepeda (bike messenger) berkembang. Sedangkan Denmark memulai industri dan bisnis sepeda saat kebijakan dan fasilitas publik telah disepakati bersama, pemerintah dan warga. 

Selama hal-hal penting masih dianggap hal-hal remeh. Seperti, “Jalur sepeda kan kosong, pemotor boleh dong melintas.” Atau, “Pesepeda boleh melawan arah dan terobos lampu merah, apalagi naik trotoar.” Sebuah konsep mau menang sendiri tanpa memikirkan pihak lain yang punya hak untuk menggunakan jalan raya dan trotoar. Rasanya, bersepeda menjadi budaya di Indonesia. Atau, ada kompetisi bersepeda yang masuk ke dalam agenda internasional. Tidak akan bisa terwujud alias tetap menjadi “Negeri Dongeng”. Bukan pesimis, tapi coba lah kita realistis. Iya kan?

(BS/timKB)

Sumber foto: Tour de France