Jakarta – Pada tanggal 10 September 1973, dunia tinju memusatkan perhatiannya ke The Forum, Inglewood, California. Ini bukan sekadar pertandingan tinju biasa; ini adalah pertarungan balas dendam yang sangat dinanti. Di satu sudut ring berdiri Muhammad Ali, legenda hidup yang reputasinya sempat tercoreng. Di sudut lain, ada Ken Norton, petinju yang telah melakukan apa yang dianggap banyak orang mustahil—ia mengalahkan Ali dan, yang lebih parah, mematahkan rahangnya. Pertarungan kedua ini bukan hanya tentang memperebutkan kemenangan, tetapi juga tentang mengembalikan kehormatan dan membuktikan bahwa Ali masih pantas disebut “Yang Terhebat”.
Kekalahan pertama Ali dari Norton pada bulan Maret tahun yang sama adalah momen yang mengejutkan. Norton, seorang petinju yang memiliki gaya ortodoks yang aneh dan pukulan jab yang sangat kuat, berhasil mengacaukan ritme Ali. Dengan rahang yang patah dan wajah yang lebam, Ali harus menerima kekalahan melalui keputusan juri yang terbelah. Untuk pertama kalinya dalam karier profesionalnya, Ali terlihat rentan. Keraguan mulai menyebar: apakah masa kejayaannya sudah berakhir? Apakah keajaiban “float like a butterfly, sting like a bee” sudah memudar? Pertarungan kedua ini adalah kesempatan bagi Ali untuk membungkam para peragu dan membuktikan bahwa kekalahan itu hanyalah sebuah kesalahan, bukan pertanda kemunduran.
Menjelang pertarungan, ketegangan sangat terasa. Norton datang dengan kepercayaan diri penuh. Ia telah membuktikan bahwa ia punya formula untuk mengalahkan Ali. Sementara itu, Ali mempersiapkan diri dengan intensitas yang berbeda. Ia tahu bahwa mengandalkan kecepatan saja tidak cukup. Ia harus belajar mengatasi gaya Norton yang unik. Para pengamat tinju dan penggemar terbelah menjadi dua kubu—mereka yang percaya Ali akan bangkit, dan mereka yang yakin Norton akan mengulanginya.
Begitu bel pertandingan dibunyikan, pertarungan langsung berjalan dengan tempo tinggi. Ali memulai dengan lebih berhati-hati dibandingkan pertarungan pertama. Ia menggunakan gerakan kakinya yang lincah untuk menjaga jarak dan sesekali melepaskan pukulan jab cepat untuk mengukur Norton. Namun, Norton tidak gentar. Ia terus menekan, mencoba menjebak Ali di tali ring dan mendaratkan pukulan-pukulan keras yang telah sukses di pertarungan pertama.
Salah satu hal yang paling menonjol dari pertarungan ini adalah adaptasi taktis Ali. Ali tidak hanya mengandalkan gerakan tarian ring yang khas. Ia juga memilih untuk sesekali berdiri di depan Norton, bertukar pukulan dalam jarak dekat. Ini adalah langkah yang berani dan penuh risiko, namun menunjukkan tekad Ali untuk membuktikan bahwa ia bisa mengungguli Norton dalam setiap aspek pertarungan. Pertukaran pukulan di babak-babak awal sangatlah ketat, dengan kedua petinju saling mendaratkan pukulan yang signifikan. Namun, seiring berjalannya pertarungan, kecepatan dan pengalaman Ali mulai mendominasi. Ia berhasil mendaratkan serangkaian kombinasi pukulan yang akurat, sementara Norton terlihat mulai kelelahan.
Ronde demi ronde, pertarungan berjalan seimbang. Ada saat-saat di mana Norton berhasil mendaratkan pukulan keras yang menguji ketahanan Ali, tetapi ada juga momen di mana Ali menunjukkan kecepatan luar biasa dan melumpuhkan Norton dengan pukulan jab-nya. Kedua petinju menunjukkan hati seorang pejuang, menolak untuk menyerah. Pertarungan berlangsung hingga 12 ronde penuh, dan nasib kedua petinju kini bergantung pada keputusan juri.
Ketegangan di arena memuncak. Para penonton menahan napas saat pembawa acara membacakan hasil keputusan. Dengan skor 59-59, 60-58 untuk Ali, dan 59-58 untuk Ali, Muhammad Ali dinyatakan sebagai pemenang melalui keputusan terbelah (split decision). Kemenangan ini bukanlah kemenangan telak, tetapi itu sudah cukup. Ali telah membalas dendamnya. Ia telah membuktikan bahwa kekalahan sebelumnya hanyalah sebuah rintangan, dan ia masih menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan.
Kemenangan ini memiliki implikasi besar bagi karier Ali. Kemenangan ini memulihkan posisinya sebagai penantang utama untuk gelar juara dunia kelas berat. Ini juga membuka jalan bagi pertarungan-pertarungan bersejarah berikutnya, termasuk “Thrilla in Manila” melawan Joe Frazier. Pertarungan kedua melawan Ken Norton ini bukan hanya tentang memenangkan pertandingan tinju, tetapi juga tentang membuktikan ketahanan mental dan semangat seorang juara. Ini adalah kisah tentang bangkit dari kekalahan, belajar dari kesalahan, dan kembali ke puncak. Bagi banyak penggemar tinju, pertarungan ini adalah salah satu bukti terbesar dari mengapa Muhammad Ali selamanya akan dikenang sebagai Yang Terhebat.
(EA/timKB).
Sumber foto: istagram
Download aplikasi Kulit Bundar untuk membaca berita dan artikel lebih mudah di gadget anda
Berita lainya
Allan Simonsen: Pemain Denmark Pemenang Ballon d’Or
Chaos di Las Vegas: Malam Kelam UFC 229
Arie Haan: Pahlawan Sepakbola De Oranje