Jakarta – Arend “Arie” Haan (lahir 16 November 1948) adalah salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola Belanda, sebuah nama yang identik dengan era keemasan “Total Football” dan koleksi trofi klub yang fantastis. Dikenal karena keserbagunaannya yang luar biasa, visi permainan yang tajam, dan terutama, tendangan jarak jauhnya yang mematikan, karir Haan mencakup tiga dekade di mana ia bertransformasi dari gelandang kelas dunia menjadi seorang manajer globetrotter.
Era Emas Ajax dan Total Football (1967–1975)
Lahir di Finsterwolde, Belanda, Arie Haan memulai karir profesionalnya di salah satu institusi sepak bola terbesar di dunia, AFC Ajax. Ia bergabung pada tahun 1967 dan dengan cepat menjadi bagian integral dari revolusi taktis yang dipimpin oleh pelatih legendaris Rinus Michels dan kemudian dilanjutkan oleh Ștefan Kovács.
Di Ajax, Haan adalah pilar dari filosofi “Total Football” yang terkenal. Dalam sistem ini, setiap pemain diharapkan untuk dapat mengisi posisi pemain lain—sebuah tuntutan yang sangat cocok dengan kemampuan alami Haan. Meskipun secara umum bermain sebagai gelandang bertahan (Defensive Midfield) atau penyapu (Sweeper), kemampuannya untuk beradaptasi, mengalirkan bola, dan bahkan menyerang dari lini kedua membuatnya tak tergantikan. Bersama bintang-bintang seperti Johan Cruyff, Ruud Krol, dan Johan Neeskens, mereka menciptakan tim yang mendominasi Eropa.
Periode delapan tahun di Amsterdam menjadi masa panen trofi yang tak tertandingi:
Piala Eropa (European Cup): Tiga kali berturut-turut (1971, 1972, 1973). Haan mencetak gol kedua yang krusial pada Final 1971 melawan Panathinaikos.
-
- Piala Interkontinental (Intercontinental Cup): 1972.
- Piala Super Eropa (European Super Cup): Dua kali (1972, 1973).
- Eredivisie (Liga Belanda): Tiga kali (1970, 1972, 1973).
- Piala Belanda (KNVB Cup): Tiga kali (1970, 1971, 1972).
Koleksi piala ini menempatkan Haan di antara sekelompok kecil pemain elite yang memenangkan segalanya di level klub Eropa pada zamannya.
Kesuksesan Berlanjut di Belgia dan Akhir Karir Bermain
Pada tahun 1975, setelah berselisih dengan pelatih Ajax saat itu, Arie Haan membuat keputusan untuk pindah ke Belgia, bergabung dengan R.S.C. Anderlecht. Keputusan ini terbukti menjadi langkah jenius karena ia berhasil mengulangi dominasinya di Eropa, kali ini dengan klub Belgia.
Di Anderlecht, ia memimpin tim menuju dua gelar Piala Winners Eropa (European Cup Winners’ Cup) pada tahun 1976 dan 1978. Kemenangan ini juga membawa pulang dua tambahan gelar Piala Super Eropa (1976, 1978), menjadikan total koleksi trofi Piala Super Eropanya menjadi empat—sebuah rekor luar biasa untuk seorang pemain.
Setelah kesuksesan di Anderlecht, ia pindah ke Standard Liège pada tahun 1981, di mana ia kembali memenangkan dua gelar Liga Belgia dan mencapai Final Piala Winners Eropa 1982. Keserbagunaan dan kepemimpinannya di lini tengah membuatnya menjadi sosok yang sangat berharga di setiap klub yang ia bela. Sebelum pensiun, ia kembali ke Belanda untuk waktu singkat bersama PSV Eindhoven dan mengakhiri karir bermainnya di Asia bersama klub Hong Kong, Seiko SA, pada tahun 1984.
Memori Oranje: Dua Final Piala Dunia
Di panggung internasional, Arie Haan dikenang sebagai pemain kunci bagi Tim Nasional Belanda yang mencapai dua Final Piala Dunia FIFA berturut-turut, sebuah capaian monumental meskipun berakhir dengan kekalahan.
Ia adalah bagian dari skuad legendaris Piala Dunia 1974 di Jerman Barat, di mana Belanda menampilkan “Total Football” ke mata dunia, sebelum akhirnya kalah dari tuan rumah di final.
Empat tahun kemudian, pada Piala Dunia 1978 di Argentina, Haan bersinar terang. Dalam turnamen itu, ia mencetak dua gol yang paling dikenang dalam sejarah Piala Dunia. Yang pertama adalah gol tendangan jarak jauh yang spektakuler ke gawang kiper legendaris Jerman Barat, Sepp Maier, dalam pertandingan yang berakhir imbang 2-2. Yang kedua, dan mungkin yang paling terkenal, adalah “howitzer” dari jarak sekitar 40 yard yang menembus gawang kiper Italia, Dino Zoff, dalam kemenangan 2-1 di babak kedua grup, yang memastikan tempat Belanda di final. Sayangnya, seperti empat tahun sebelumnya, Oranje kembali harus puas sebagai runner-up setelah kalah dari Argentina.
Petualangan Manajerial Lintas Benua
Setelah pensiun sebagai pemain, Arie Haan segera memulai karir kepelatihannya. Tidak seperti banyak rekannya yang memilih tetap di Belanda, Haan memilih jalur globetrotter, membawa filosofi dan pengalamannya melintasi Eropa dan Asia.
Karir manajerialnya yang panjang dan bervariasi mencakup:
-
- R.S.C. Anderlecht (Belgia): Kembali ke klub Belgia dan memimpin mereka meraih gelar liga berturut-turut (1986, 1987).
- VfB Stuttgart (Jerman): Membawa klub ini ke Final Piala UEFA pada tahun 1989, menunjukkan keahliannya di kancah Bundesliga.
- Standard Liège (Belgia): Memenangkan Piala Belgia pada tahun 1993.
- Feyenoord (Belanda): Menjadi pelatih di klub rival Ajax, menunjukkan profesionalisme tinggi.
Pada awal tahun 2000-an, fokus karir kepelatihannya beralih ke kancah tim nasional. Ia menjabat sebagai manajer tim nasional Tiongkok (2002–2004), Kamerun (2006–2007), dan Albania (2007–2009). Pengalamannya bersama Tiongkok sangat signifikan, di mana ia memimpin tim ke Final Piala Asia AFC 2004. Setelah itu, ia kembali melatih di Liga Super Tiongkok bersama klub-klub seperti Tianjin Teda dalam beberapa periode berbeda, menjadikannya salah satu pelatih asing yang paling lama berkarir di sepak bola Tiongkok.
Arie Haan bukan hanya sekadar pemenang trofi, tetapi juga seorang figur yang memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai peran dan tuntutan permainan modern. Dari membela filosofi “Total Football” di lapangan hingga menavigasi tantangan budaya di ruang ganti global, profilnya adalah kisah tentang bakat luar biasa, keserbagunaan, dan semangat untuk menjelajahi dunia melalui sepak bola. Ia adalah salah satu pahlawan Belanda yang karirnya, baik sebagai pemain maupun pelatih, telah mengukir namanya di buku sejarah sepak bola dunia.
(RA/timKB).
Sumber foto: google
Download aplikasi Kulit Bundar untuk membaca berita dan artikel lebih mudah di gadget anda
Berita lainya
Allan Simonsen: Pemain Denmark Pemenang Ballon d’Or
Chaos di Las Vegas: Malam Kelam UFC 229
Hat-trick Perdana Cristiano Ronaldo Di Liga Champions