Kulit Bundar

New Age of Sports Community

Akhir Kisah Maradona ‘Si Tangan Tuhan’


Jakarta – Tanggal 30 Oktober 1997 menjadi penanda yang suram sekaligus puitis dalam sejarah sepak bola. Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-37, Diego Armando Maradona, salah satu pesepak bola terhebat—dan paling kontroversial—yang pernah ada, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia yang ia dominasi. Pengumuman ini bukan hanya sekadar akhir dari karier seorang atlet, tetapi juga penutupan babak terakhir dari sebuah epik yang penuh kejeniusan, kemuliaan, dan kehancuran diri.
Akhir di Klub Kecintaan: Boca Juniors

Perpisahan Maradona dengan lapangan hijau terjadi saat ia berseragam klub yang selalu ia cintai, Boca Juniors. Pertandingan terakhirnya yang sesungguhnya terjadi lima hari sebelum pengumuman pensiun, yaitu pada 25 Oktober 1997, dalam laga Superclásico melawan rival abadi mereka, River Plate.

Dalam pertandingan derby yang selalu panas itu, Maradona ditarik keluar pada babak pertama. Ia digantikan oleh pemain muda yang kelak akan menjadi legenda Argentina berikutnya, Juan Román Riquelme. Pergantian ini terasa sangat simbolis: tongkat estafet kejeniusan Argentina secara resmi berpindah tangan. Boca Juniors pada akhirnya memenangkan pertandingan itu dengan skor 2-1, sebuah kemenangan berharga yang menjadi kenangan manis, meskipun berbalut ironi, dari perpisahan tak terduga bagi Maradona.

Masa-masa terakhirnya di Boca dipenuhi perjuangan. Maradona sudah berada dalam pengawasan ketat setelah tes doping positif pada Piala Dunia 1994 yang membuatnya diskors selama 15 bulan. Di masa kembalinya ke Boca antara tahun 1995 hingga 1997, ia berjuang keras untuk mempertahankan kondisi fisik di tengah masalah pribadi dan ketergantungan yang kian parah. Laporan mengenai tes doping lain yang dirilis setelah pertandingan Superclásico menjadi pukulan telak yang tak terhindarkan, seolah menjadi katalisator bagi keputusan yang sudah lama tertunda.

Pengumuman yang Puitis dan Menyakitkan

Pada 30 Oktober 1997, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-37, Maradona memutuskan untuk mengakhiri spekulasi yang membebani media Argentina. Untuk menghindari potensi skorsing lebih lanjut yang akan menghancurkan warisan permainannya, ia memilih momen yang penuh makna—hari ulang tahunnya—untuk gantung sepatu.

Keputusannya didorong oleh kondisi fisik yang menurun drastis dan tekanan hukum yang tak tertahankan. Ini bukanlah pengunduran diri yang diwarnai perayaan besar atau tur perpisahan megah yang layak diterima seorang dewa sepak bola. Sebaliknya, itu adalah penutupan yang terpaksa, lahir dari kelelahan, kontroversi, dan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan dirinya dari pusaran masalah yang ia ciptakan sendiri.

“Sepak bola memberi saya segalanya. Ini adalah cinta, gairah saya. Tetapi saya harus pensiun karena ini adalah saat yang tepat. Saya lelah dan saya tidak ingin memberi siapa pun kesempatan untuk berspekulasi tentang kondisi saya lagi,” ujar Maradona kala itu, meskipun di balik kata-kata yang penuh martabat tersebut, tersimpan rasa sakit seorang maestro yang dipaksa berhenti sebelum waktunya oleh masalah di luar lapangan.
Warisan Global dan Dampak Kontroversi

Mundurnya Maradona pada 1997 menutup lembaran karier yang telah memberikan dunia salah satu pertunjukan individu paling mendebarkan dalam olahraga. Ia adalah arsitek tunggal di balik kemenangan Argentina di Piala Dunia 1986, sebuah turnamen di mana ia mencetak gol “Tangan Tuhan” yang penuh kontroversi, dan segera diikuti oleh “Gol Abad Ini” yang menakjubkan—semua dalam satu pertandingan melawan Inggris.

Di level klub, Maradona mengubah wajah sepak bola Italia. Keputusannya bergabung dengan Napoli yang kurang populer pada tahun 1984 adalah sebuah revolusi sosial dan olahraga. Ia memimpin klub tersebut meraih dua gelar Serie A (1987 dan 1990), sebuah keajaiban yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengubah Napoli dari klub medioker menjadi kekuatan nasional. Kontribusinya bagi Napoli jauh melampaui statistik; ia memberikan kebanggaan dan identitas kepada kota yang secara historis merasa terpinggirkan dari Italia Utara.

Namun, justru di puncak ketenaran inilah awal kehancurannya bermula. Tekanan, popularitas yang tak tertandingi, dan lingkungan yang kurang suportif—termasuk hubungan yang rumit dengan mafia lokal di Napoli—mendorongnya ke jalan penyalahgunaan narkoba yang akhirnya merenggut tahun-tahun emas terakhir kariernya. Kontroversi doping yang berujung pada pengunduran dirinya pada 1997, setelah sempat diskors pada 1991 dan 1994, semakin memperumit dan menggelapkan warisan besarnya.
Simbol Akhir Era

Pengunduran dirinya pada ulang tahunnya yang ke-37 tidak hanya menandai akhir dari Diego Maradona sebagai pemain, tetapi juga menyoroti kerentanan terbesar dari seorang jenius: kemanusiaannya. Ia adalah pemain yang membawa negaranya ke puncak dunia, menghidupkan kembali klub yang hampir terlupakan, tetapi tidak mampu mengalahkan musuh terbesarnya—dirinya sendiri.

Pada 30 Oktober 1997, dunia sepak bola kehilangan sosok yang mampu melakukan hal-hal mustahil dengan kaki kirinya, seorang pemain yang, meskipun cacat moral, dicintai oleh jutaan orang karena gairahnya yang liar dan bakatnya yang tak tertandingi. Keputusan itu mungkin pahit, tetapi itu menutup kisah seorang pemain yang menjalani hidup dan kariernya dengan penuh keberanian, tanpa kompromi, hingga titik nadir yang menyakitkan. Diego Maradona, sang Dewa dari Lanús, gantung sepatu, meninggalkan kita dengan kenangan abadi tentang keindahan terliar dan tragedi terbesar dalam olahraga.

(EA/timKB).

Sumber foto: google

Download aplikasi Kulit Bundar untuk membaca berita dan artikel lebih mudah di gadget anda