Kulit Bundar

New Age of Sports Community

Element6
Element6

Berebut Ruang Publik: Antara Tebet Eco Park, CFW, dan Stadion JIS


Kota Jakarta dan daerah penyangga sekitarnya tidak pernah kehabisan cerita. Karena manusia adalah bagian dari keberlangsungan sebuah kota, maka yang muncul, apa pun judul berita maka masalahnya tetap pada manusia. Ini berarti, masalah sosial adalah nomor satu. Macet dan polusi, ada pergerakan manusia. Banjir, ada tempat tinggal manusia. Keributan politik, ada pertarungan kekuasaan antar manusia. Penyebab utamanya dan tidak bisa dipungkiri, yah manusia. Begitu pula ketersediaan ruang publik, adalah bagian dari kebutuhan manusia.

Jika kita melihat beberapa aplikasi yang menampilkan kualitas udara Jakarta, jarang ibukota negara pada posisi udara yang bersih. Tetapi, ada secercah harapan dengan ketersediaan ruang publik. Ada taman kota di Tebet, area pejalan kaki di seputaran Sudirman, dan fasilitas olahraga di dekat Ancol. Reaksi pertama yang nampak saat ruang publik dibuka adalah antusias. Tetapi, antusias warga akan disusul dengan hal-hal yang mengkhawatirkan.

Dulu sebutan untuk Tebet Eco Park adalah Taman Tebet, Hutan Kota Tebet, dan Taman Honda Tebet. Terdapat lintasan untuk jogging yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Tidak banyak orang yang melakukan aktifitas olahraga di taman tersebut. Setelah revitalisasi dan tampilannya berbeda maka warga antusias, alhasil ramai.

Wilayah Dukuh Atas dulu dikenal dengan area hilir mudik bagi para pekerja yang tinggal di luar wilayah Jakarta. Dengan menggunakan Commuter Line, para pekerja menikmati mudahnya transportasi umum yang terintegrasi dengan bis dan kereta bandara. Setelah ada akses untuk pejalan kaki di underpass Dukuh Atas dan ‘tempat nongkrong kekinian’ yang mengitarinya, warga antusias berkumpul di sana. Alhasil ramai. 

Stadion JIS (Jakarta International Stadium), dulu sebutannya adalah stadion BMW (Bersih Manusia Wibawa). Nama yang sama, BMW, dulunya adalah taman. Sejak bernama stadion BMW, tampilannya bukan lah seperti sekarang. Masih dalam tahap perencanaan. Saat ini, di sekitar stadion JIS terdapat ruang publik. Warga antusias, alhasil ramai.

Foto: Jeff Goldberg/ESTO

Tiga wilayah berbeda. Berganti-ganti nama. Tetapi, masalah tetap sama. Apa saja?

Macet

Dengan teknologi yang canggih, seharusnya pergerakan manusia bisa diantisipasi. Warga merindukan area komunal yang terbuka dan hal itu wajar. Antusiasme harus diatur juga. Ketiga ruang publik tersebut berada di daerah yang padat untuk lalu lintas, apalagi di akhir pekan. Harus ada ketersediaan transportasi umum yang terintegrasi dan nyaman ke ruang publik. Sehingga warga pun tidak membawa kendaraan pribadi. Atau, tersedia pula area parkir yang aman dan mudah diakses menuju dan dari ruang publik.

Culture Shock

Kemunculan sebuah tempat baru akan diikuti dengan review dari warga melalui media sosial. Viral, dianggap sebuah tolak ukur layak atau tidak layak sebuah tempat untuk dikunjungi. ‘Kagetan’, selalu terjadi. Namun, lagi-lagi budaya yang mungkin bagi banyak orang dianggap buruk karena dianggap ramai untuk sesaat saja, bisa memunculkan peluang bagi Sebagian orang. Peluang untuk menghasilkan solusi bagi sebuah masalah. Ketiga ruang publik tersebut telah menjadi bukti, yaitu: revitalisasi dengan penampilan yang catchy, fasilitas publik yang mendukung, dan integrasi transportasi publik yang mudah, membuat warga memiliki tempat selain mal.

Klaim Sepihak

Masalah sosial yang sering kali penyelesaiannya bukan melalui solusi sosial tetapi kekuatan. Saat ada sebuah tempat baru untuk nongkrong dibuka dan warga mendatangi, akan muncul dua hal: parkir dan tukang parkir tidak resmi. Ketiga ruang publik tersebut mengalami hal yang sama yaitu kemacetan. Solusinya adalah kemunculan parkir dan tukang parkir tidak resmi demi satu hal, rasa aman. 

Keamanan yang disediakan oleh warga sekitar yang bisa saja muncul karena belum atau tidak dilibatkan sejak rencana membangun sebuah tempat untuk publik. Biasanya, akan muncul konflik setelah sekian lama masalah tidak selesai dan penyelesaiannya adalah peraturan yang mengikat secara hukum. Perlawanan sosial bisa timbul dengan “baju” kelompok ormas tertentu. Jika sudah sampai di titik tersebut, kerap jalan keluarnya adalah berbagi wilayah. Yang lain, tentang klaim sepihak adalah merasa sebagai penemu wilayah atau nama bagi ruang publik. Kalau sudah sampai urusan tersebut, perang antar buzzer di media sosial pun menjadi solusinya.

Tiga masalah dasar di atas, kembali muncul saat CFW (Citayam Fashion Week). Sebuah istilah yang muncul berbarengan dengan SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok). Anak-anak gen-Z, kelahiran di atas tahun 2000, dari daerah penyangga Jakarta menunjukkan jati dirinya. Walau batal, rencana mendaftarkan CFW untuk HAKI (Hak Atas Kepemilikan Intelektual, pembubaran CFW karena urusan parkir, dan terlibatnya model professional demi konten, adalah bentuk klaim sepihak yang bisa merusak keaslian ruang publik.

Begitu pula, saat pagar pembatas tribun stadion JIS ambruk, perang narasi antar buzzer atau kelompok tertentu muncul di media sosial. Lalu, dihubungkan ke urusan saling dukung figur tertentu terkait preferensi politik. Memang, kenyataannya rubuh. Seharusnya, komunikasi publik tidak mengarah di luar ruang publik yang harus direnovasi, setelah rubuh. Pengelola stadion dan warga seharusnya satu suara untuk memperbaiki, mengawasi, dan menjaga ruang publik.

Voloshinov, filsuf berkebangsaan Rusia, pernah mengungkapkan bahwa narasi adalah tanda yang digunakan suatu kelompok untuk memenangkan kepentingannya. Wajib bagi kita untuk memenangkan kepentingan demi wilayah bersama bagi warga, tanpa sekat dan kelas sosial tertentu. Apa pun narasinya, ruang publik atau tempat nongkrong atau area komunal, yang penting kita memiliki wilayah terbuka. Tempat untuk kita bisa berolahraga tanpa pusing dengan masalah apa pun. 

(BS/timKB)

Sumber foto: Instagram JIS