Mungkin kita sering merasakan bahwa ego kita memengaruhi kita dalam suatu situasi. Apakah ego itu? Setiap orang memiliki ego. Ada banyak definisi ego, tetapi sederhananya, ego adalah rasa identitas pribadi atau perasaan penting diri kita. Dan membantu kita mengidentifikasi ‘keunikan’ kita, membela diri sendiri, dan membuat rencana dalam hidup.
Namun, sangat penting bagi kita untuk memperhatikan bagaimana ego memengaruhi kita dalam mengambil keputusan, karena hal tersebut bisa menjadi pengaruh negatif.
Memiliki kesadaran akan ego, berperan besar dalam meningkatkan hubungan kita dengan orang lain, serta kemampuan kita untuk mengelola orang lain dan diri sendiri. Dengan menjadi lebih sadar akan ego, hidup kita akan terasa lebih ringan.
Tugas ego adalah merasa penting. Kelangsungan hidupnya tergantung padanya. Sayangnya, ini berarti ego kita perlu berjuang dan membela diri. Tampaknya berlawanan dengan intuisi, tetapi ego membutuhkan situasi negatif untuk muncul sehingga ada sesuatu yang harus dilakukan, sesuatu yang perlu dikhawatirkan, atau sesuatu yang harus diubah.
Ego tidak hidup di masa sekarang (present moment). Masa lalu dan masa depan hanya ada dalam pikiran, ego kita ingin agar kita memikirkan masa lalu dan masa depan. Ini berarti memikirkan hal-hal yang salah di masa lalu, atau hal-hal yang mungkin salah di masa depan.
Ini berarti jika kita mengingat kembali ketika seseorang bersikap kasar kepada kita dan kita merasa tersinggung, itu adalah ego kita yang berbicara. Jika kita khawatir tentang suatu peristiwa yang akan datang, itu juga adalah ego yang berbicara. Jika kita menerima umpan balik yang tidak kita sukai, terlepas dari apakah itu adil atau tidak adil, itu adalah ego yang berbicara.
Ego membawa kita menjauh dari saat ini (present moment). Bayangkan menjalani seluruh hidup kita dengan memikirkan masa lalu dan masa depan, dan kemudian menyadari pada akhirnya bahwa semua yang pernah kita miliki hanyalah saat ini. Tetapi kita terlalu terjebak di kepala untuk melibatkan indera kita sepenuhnya dan menikmati dunia di luar diri kita. Beberapa cara untuk dapat mengidentifikasi kapan ego muncul, dengan menjawab pertanyaan berikut :
- Pernahkah kita tidak menyukai seseorang yang berhasil?
- Apakah kita membandingkan diri kita dengan orang lain?
- Apakah kita mencari perhatian dan validasi?
- Apakah kita melihat diri kita lebih baik, lebih pintar, atau lebih baik dari orang lain?
- Apakah kita suka berbicara tentang ketidaksempurnaan orang?
- Pernahkah kita memperhatikan bahwa kita sedang ‘memberikan sinyal kebajikan’ (menunjukkan betapa bermoralnya diri kita)?
- Pernahkah kita memandang rendah seseorang karena tidak berusaha sekeras kita?
Tidak ada salahnya memiliki ego, tidak ada salahnya merasa penting, tetapi ego perlu diatur. Masalah muncul ketika ego memengaruhi pengambilan keputusan, suasana hati , atau membuat kita merasa lebih unggul dari orang lain untuk membenarkan perilaku kita. Hal-hal ini membuat diri kita sengsara. Ego ingin melihat masa lalu dan masa depan untuk mencari masalah, sehingga dapat mempertahankan diri. Namun, kita dapat belajar untuk menerima apa adanya, hanya dengan memperhatikan ketika ego kita mengganggu, dan dengan lembut membawanya kembali ke jalurnya.
Diri kita bukanlah pikiran kita. Kebanyakan orang sepenuhnya mengidentifikasi diri mereka dengan suara di kepala mereka. Seiring waktu, kita akan dapat mendefinisikan kembali siapa kita menurut kita, dan bagaimana kita memandang orang lain. Ini akan membantu kita membuat keputusan yang lebih baik.
Ketika kita marah, atau sedih, atau marah, atau khawatir, atau takut akan masa depan, itu bukanlah diri kita. Itu hanya ego kita, hanya pikiran kita. Ego hanyalah bagian dari diri kita. Pikiran kita hanyalah bagian dari diri kita. Alam bawah sadar kita membuat keputusan sebelum kita menyadarinya. Kita tidak perlu memikirkan tentang perasaan, pernapasan, detak jantung atau pencernaan, kehadiran kita di alam semesta, dan indera penciuman, sentuhan, rasa, suara. Ini semua adalah kita juga. Diri kita jauh lebih dari ego dan pikiran kita.
Setiap orang belajar cara untuk diterima dengan menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Kita juga semua belajar cara untuk menerima dan menolak aspek diri kita. Selalu berusaha keras untuk menyesuaikan diri dan diterima di sekolah atau tempat kerja. Serta mencoba untuk unggul dan menjadi istimewa, membuat kita ingin mendapat perhatian dan pengakuan. Kita juga melakukan perilaku ini untuk menghindari penolakan. Kita belajar menghargai diri sendiri berdasarkan standar itu.
Dalam beberapa kasus, ego dapat menyabotase perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Penerimaan diri dan penolakan diri menjadi bagian otomatis dari sistem kepercayaan dan identitas ego. Selama sekian tahun, kita memiliki pemikiran dan penghakiman, membandingkan diri dengan orang lain. Serta ribuan pengulangan pemikiran mental yang membangun sistem kepercayaan yang kuat tentang identitas kita. Kita akhirnya memiliki penilaian tersendiri terhadap diri kita.
Gambaran diri yang salah dalam pikiran kita, berkontribusi pada kepribadian, ketakutan, penilaian diri, dan kekuatan kita. Hasil dari memercayai banyak pemikiran dari waktu ke waktu menciptakan keyakinan inti tentang siapa diri kita dan bagaimana kita dibandingkan dengan orang lain. Identitas dan nilai berbasis sistem kepercayaan ini adalah apa yang kita sebut dengan ego.
Sebagian besar dari apa yang mungkin mendorong kita menuju kesuksesan dapat dikaitkan dengan ego, dan itu tidak selamanya buruk.
Ego yang tidak sehat mungkin muncul sebagai obrolan kritis di pikiran kita, amarah, insecure, cinta dengan syarat, pembuktian bahwa kita selalu benar, kecemburuan, kritik disertai superioritas, depresi, harus sempurna, merasa tidak dicintai atau tidak berharga, malu, bersalah, takut, merasa perlu untuk lebih unggul, pengakuan dan validasi, menghakimi diri dan orang lain, serta berbagai alasan lainnya.
Kita semua memiliki ego. Tujuan hidup kita bukan untuk memberantas ego untuk selamanya, tujuannya adalah untuk menjadi lebih sadar akan keberadaan sang ego. Namun demikian, pengurangan ego dapat memberikan pemahaman yang baik, seperti yang diklaim oleh banyak orang yang mengalami kematian ego.
Dalam kematian ego, hidup kita sudah tidak lagi terpengaruh oleh apapun yang terjadi di luar diri kita, dan pada akhirnya mampu melampaui ego. Pengalaman seperti itu dapat memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana ego membangun diri kita.
Banyak yang beralih ke berbagai ilmu kebijaksanaan dan spiritual. Dalam pengalaman transenden, diri kita sebagai jiwa mengakui keterhubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta itu sendiri. Tentang kesatuan tingkat jiwa individu dengan “Ketuhanan”. Beberapa menggambarkan identitas tersebut sebagai “kesadaran”, atau “kesadaran murni”.
Tentu saja, semua ini tidak dapat digambarkan menjadi kata-kata belaka. Mencoba mengomunikasikan “kematian ego” seperti mencoba mendeskripsikan kebisingan kepada orang tuli. Satu-satunya cara untuk memahaminya adalah melalui pengalaman langsung.
Ini bukan untuk mengatakan bahwa kita harus bergegas dan melenyapkan ego. Kita semua memiliki ego. Ketika ego adalah musuh, kita berperang dengan diri kita sendiri, dan pertempuran internal kita memiliki cara untuk bermanifestasi secara eksternal. Ketika ego adalah sekutu, kita bekerja dengan mengubahnya menjadi kerangka kerja yang penuh kasih. Sulit untuk melihat pola kita dengan benar, tetapi saat kita melakukannya, kita melampaui pola itu, kita dapat mengurangi cengkeramannya pada kehidupan dan mengintegrasikan ketidakterbatasan ke dalam keberadaan kita yang terbatas.
(DK-TimKB)
Sumber Foto : Hindustan Times
Berita lainya
Apa Dampak Stres Oksidatif Terhadap Tubuh?
Temukan Harmoni Melalui Pengalaman Sound Bath
Achievemephobia: Mengatasi Ketakutan Akan Kesuksesan