Seberapa sering setelah hari yang sangat sibuk kita mendapati diri kita bertanya-tanya apakah kita mencapai sesuatu yang besar? Pada akhir hari-hari seperti itu kita merasa lelah, frustrasi, dan hampa. Sepertinya kita ‘sibuk’ tidak melakukan apa-apa.
Doing nothing, atau tidak melakukan apa-apa adalah seni mengalir dengan kehidupan dan menjalaninya dengan cara alam. Kita terlatih merencanakan hari kita. Kemudian mempercayakan insting serta tuntunan dari kekuatan yang lebih besar menjadi kemudi yang mengarahkan hari kita. Lalu kekuatan hidup yang mengalir keluar dari diri kita secara tidak sengaja menyelesaikan banyak hal. Seperti saat penyanyi berhenti bernyanyi dan membiarkan lagu keluar dari kedalaman diri mereka. Lukisan yang mengalir keluar dari seorang seniman dan ketika penari dan tarian menjadi satu.
Anak-anak hidup dengan cara alami mengalir mengikuti ritme kehidupan. Begitu juga penduduk desa yang banyak tidak memiliki akta kelahiran, seperti seolah mereka mengikuti irama kehidupan. Ini adalah kesaksian hidup dari filosofi Abraham Lincoln: Pada akhirnya, bukan tahun-tahun dalam hidup kita yang diperhitungkan. Ini adalah kehidupan di tahun-tahun kita. Suku-suku asli di berbagai belahan dunia juga terhubung erat dengan alam dan juga mengalir mengikuti ritme kehidupan. Seperti halnya lelaki berusia 90 tahun yang berdoa kepada Tuhan untuk mengetahui tujuan sisa hidupnya. Tanggapan yang dia terima sangat menarik: Hidup akan memiliki tujuan tetapi kita tidak akan mengetahuinya. Dan kita akan memenuhi tujuan itu tanpa mengetahuinya!
Doing nothing, tidak melakukan apa-apa. Kita sama sekali tidak berniat untuk melakukan apa-apa. Tidak scrolling media sosial, tidak membaca buku atau artikel, tidak mendengarkan podcast, dan tidak menonton film, TV, atau video YouTube. Apakah kita pernah melakukannya? Bagaimana rasanya?
Itu tidak berarti kita tidak sibuk membicarakan pentingnya keseimbangan kehidupan kerja dan meditasi, atau sibuk menggembar-gemborkan pentingnya relaksasi, kita memang seharusnya begitu. Namun terlepas dari tren ini, kita masih lebih sibuk dan lebih stres dari sebelumnya.
Bahkan saat kita sedang tidak bekerja, banyak dari kita merasa wajib melakukan sesuatu yang produktif, baik itu pergi ke gym, menjalankan tugas, pergi ke kelas yoga, atau mengurus tagihan dan tugas lainnya. Kita merasa berkewajiban untuk mengekstraksi produktivitas dari setiap detik kehidupan kita sehari-hari, menilai value kita sebagai manusia dengan seberapa sukses kita dalam melakukannya.
Dan jika kita tidak sibuk kesana kemari menyelesaikan pekerjaan, kemudian kita merasa dibebani dengan rasa bersalah. Sepertinya ada yang aneh jika kita tidak sibuk. Pernahkah kita memikirkannya? Tapi itu bukan salah kita.
Budaya kita menyamakan kesibukan dengan status tinggi dan kebajikan moral. Bermalas-malasan dan bersantai tanpa berbicara di telepon, chatting, atau membaca buku, podcast, atau artikel, seperti memberi sinyal kepada dunia bahwa kita tidak seberharga mereka yang memiliki iPhone yang booming, tidak sama terlibatnya secara intelektual dengan mereka yang memiliki terus-menerus mengonsumsi informasi, atau berbudi luhur seperti mereka yang selalu memperhatikan lifestyle.
Tetapi percaya pada hal-hal seperti ini dapat menggerogoti perasaan diri kita dan kualitas hidup kita secara keseluruhan. Dan tentunya dapat merusak kesehatan kita, baik mental maupun fisik.
Tidaklah mengherankan bahwa tingkat depresi, kecemasan, dan stres meningkat karena aktivitas hidup tampaknya memiliki banyak pergeseran.
Sains mulai menunjukkan manfaat menghabiskan waktu dalam keheningan, di alam, dan tidak terlibat dalam rangsangan eksternal yang konstan. Kita membutuhkan waktu untuk ‘tidak melakukan apa-apa’ untuk menjadi diri kita yang terbaik, manusia yang berpengetahuan luas dan kreatif. Sisi ‘melakukan’ dari sifat kita membutuhkan sisi ‘makhluk’ agar seimbang.
Sedihnya, begitu banyak perbuatan kita yang dihasilkan dari semacam cuci otak budaya yang memberi tahu kita bahwa kesibukan kompulsif adalah syarat untuk menjadi manusia yang baik dan karyawan yang baik. Akibatnya, perilaku gila kerja seperti memeriksa pekerjaan di luar jam kerja atau pergi ke kantor di akhir pekan menjadi hal yang normal.
Pemikiran untuk menjadi sangat produktif dan tidak pernah beristirahat, meskipun berakar pada etos kerja, tampaknya berada pada tingkat yang bahaya, jika kita benar-benar tidak bisa menyeimbangkannya dengan baik.
Kadang bisa menjadi penting sebuah kemalasan dan mengerti efek samping berbahaya dari kesibukan yang berlebihan, pendewaan pekerjaan, dan perjuangan terus-menerus. Kita semua mungkin sedikit lebih bahagia jika kita berhenti secara obsesif mencoba membuat sesuatu dari bakat kita dan sebagai gantinya secara sadar merangkul kemalasan atau doing nothing.
Mungkin terdengar sebagai ide yang aneh jika kita doing nothing alias bermalas-malasan. Namun, itu mungkin membuat kita lebih bahagia dan lebih puas pada akhirnya. Banyak orang di akhir hidup mereka tidak menyesal tidak bekerja lebih banyak atau tidak mengembangkan diri dan bakat mereka, tetapi mereka menyesal telah bekerja begitu banyak.
Hal-hal yang membuat pekerjaan menjadi signifikan ketika orang bekerja, kekayaan dan harga diri serta keunggulan kompetitif, nilai-nilai itu tampaknya sedikit menjauh seiring bertambahnya usia.
Budaya kerja kita pasti bisa disebut toxic. Lihat saja banyak lowongan pekerjaan yang mencantumkan lusinan tugas, lusinan prasyarat, dan memasukkan tiga pekerjaan ke dalam satu posisi.
Kita adalah masyarakat yang mengonsumsi pekerjaan dan menimbulkan rasa bersalah. Persepsi ‘orang yang malas’ jika tidak bekerja sepanjang waktu, menjadi dilema.
Tentu saja, selalu ada keseimbangan yang baik untuk dicapai. Doing nothing, tidak melakukan apa-apa, sendirian, sepanjang waktu kemungkinan besar tidak akan menimbulkan perasaan sehat lagi selain kesibukan yang terus-menerus, setidaknya bagi kebanyakan orang. Tetapi kita telah menjadikan ini sebagai keharusan mutlak dan membawanya ke tingkat yang ekstrim, sering kali lupa bahwa memilih untuk bersantai dan tidak melakukan apa pun dapat memberi kita kegembiraan yang sama besarnya dengan pencapaian tujuan.
Kita bisa lari dari diri kita sendiri, tapi pada akhirnya kita tidak bisa bersembunyi. Bukan hanya tekanan sosial untuk tetap sibuk yang membuat begitu banyak dari kita sibuk, kita juga takut sendirian karena kebisingan di pikiran kita yang sering menjadi terlalu menakutkan.
Waktu untuk diri sendiri dapat membuat pikiran berceloteh, jadi pengembaraan mental tanpa tujuan. Meskipun cara yang terbukti dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan pemecahan masalah, berpotensi membawa kita ke sisi gelap. Inilah salah satu alasan mengapa kita begitu mudah meraih handphone atau komputer ketika kita memiliki kesempatan untuk slow down.
Jika kita adalah tipe orang yang terlalu banyak berpikir di waktu luang yang terlalu banyak, kita tidak sendiri. Kita membutuhkan keterampilan tentang bagaimana menyendiri dengan diri sendiri. Banyak dari kita tidak tahu bagaimana bekerja dengan pikiran kita. Di sinilah pentingnya mindfulness dan bagaimana mindfulness berperan. Jika kita tidak memiliki latihan mindfulness dan saya hanya duduk, dan yang kita lakukan hanyalah khawatir, khawatir, khawatir, itu tentu saja tidak sehat.
Cukup fokuskan pikiran pada napas, dan kemudian arahkan kembali ke napas ketika pikiran pasti muncul, baik itu negatif, positif, atau netral. Meditasi adalah salah satu cara untuk melatihnya. Penting untuk menangguhkan penilaian atau analisa apa pun selama proses ini, untuk secara lembut sadar akan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pikiran kita.
Sangat perlu bagi kita hanya untuk duduk diam, hadir di saat ini dan just be, tanpa handphone atau buku atau podcast, tanpa “keterlibatan kognitif yang konstan”. Dengan berlatih doing nothing, kita belajar untuk slow down, menikmati setiap momennya dalam kesadaran.
Salah satu alasan mengapa meditasi dalam segala bentuk, termasuk mindfulness, menjadi sangat populer adalah karena kita begitu stres dan berada di bawah begitu banyak tekanan.
Jadi, jika kita bukan seseorang yang secara alami suka menghabiskan waktu menganggur dalam lamunan atau meditasi, hal terakhir yang kita butuhkan adalah menambahkan sesuatu, doing nothing atau ‘tidak melakukan apa pun’ ke daftar tugas.
Ketika kita mencoba untuk tidak melakukan apa-apa, atau bisa dibilang ‘istirahat sadar’, kita menjadikannya sadar dalam doing nothing tanpa kehilangan intinya. Lalu dengan pemikiran ini, bagaimana kita memulai?
Santai saja dalam prosesnya dan lakukan ketika itu muncul di benak kita pada awalnya, daripada menjadwalkannya setiap hari. Kita juga bisa tenang saat memulai. Kita tidak harus duduk tegak di atas bantal dan bermeditasi secara formal untuk tidak melakukan apa pun. Selama dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan.
(DK-TimKB)
Sumber Foto : Psychology Today
Berita lainya
Bagaimana Kebosanan Bisa Menjadi Sumber Kreativitas Anda?
Fleksibilitas Mental: Kunci Menghadapi Dunia Yang Dinamis
Mengenal Dan Mengatasi Fanxiety