Kulit Bundar

New Age of Sports Community

Element6
Element6

Mengenal FOMO, Kecemasan yang Sedang Hits


FOMO atau Fear of Missing Out, adalah istilah tren jaman sekarang. Dimana kita lebih sering menerima berita dari dunia media atau media sosial. Merasa cemas atau khawatir apabila kita ketinggalan berita. Intinya, karena seringnya kita bergaul dengan gadget, semua berita atau tren media sosial menjadi makanan kita sehari-hari.

Tanpa sadar kita terikat oleh media sosial dan berita yang beredar. Berkat media sosial, kita bisa mengikuti berita apapun. Bangun pagi, mengecek handphone untuk melihat media sosial baik itu TikTok, Facebook, Instagram, Twitter atau bahkan Google, menyalakan televisi atau streaming berita. Belum lagi saat makan, saat menunggu, saat naik kendaraan, bahkan saat berkumpul bersama keluarga atau teman, kita terpaku pada smartphone. Kita sangat ingin tau dengan dunia berita yang ditawarkan oleh gadget kita.

Media sosial memiliki poin yang baik. Ini dapat membantu orang tetap terhubung dengan teman dan keluarga di seluruh dunia. Tetapi juga dapat menciptakan perasaan cemas, rendah diri, dan depresi yang serius bagi sebagian orang.  Mungkin awalnya kita terjun ke media sosial untuk merasa lebih terhubung. Akan tetapi dalam banyak kasus, hal tersebut malah dapat membuat merasa lebih terputus.

Tidak jelas apakah media sosial bertanggung jawab untuk menciptakan perasaan FOMO atau hanya membuat orang lebih mudah untuk menikmati perasaan itu. Bisa jadi, karena manusia sering berurusan dengan emosi seperti iri hati, menggunjingkan masalah orang lain, atau membandingkan diri dengan orang lain atau mencoba seperti orang lain. Melihat kehidupan orang lain di media sosial selama berjam-jam setiap hari dapat membesarkan emosi itu.

Foto : UIBS Clinic

Penelitian telah menghubungkan FOMO dengan perasaan terputus dari orang lain dan ketidakpuasan dengan kehidupan sendiri.  Menurut sebuah studi tahun 2013 yang diterbitkan di Computers in Human Behavior, orang dengan tingkat FOMO yang tinggi merasa kurang kompeten, kurang otonom, dan kurang terhubung dalam kehidupan sehari-hari mereka daripada orang kebanyakan.  Orang-orang dengan perasaan FOMO yang kuat juga dilaporkan menggunakan media sosial lebih sering, menunjukkan bahwa media sosial mungkin menjadi faktor yang berkontribusi signifikan terhadap kecemasan mereka.

Segala usia dapat mengalami FOMO. Satu studi di jurnal Psychiatry Research menemukan bahwa rasa takut ketinggalan terkait dengan penggunaan smartphone dan media sosial sangat besar, dan tidak terkait dengan usia atau jenis kelamin. Penelitian ini juga menemukan bahwa penggunaan media sosial dan penggunaan smartphone, terkait dengan ketakutan akan evaluasi negatif dan bahkan positif, sangat berpengaruh dengan efek negatif suasana hati.

Remaja dan orang muda mungkin sangat rentan terhadap efek FOMO.  Melihat teman dan orang lain memposting di media sosial dapat menyebabkan perbandingan dan ketakutan yang kuat akan kehilangan hal-hal yang dialami rekan-rekan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa remaja, FOMO dapat berperan dalam kecemasan, depresi, tingkat percaya diri rendah dan perilaku yang beresiko. Bahkan FOMO dikaitkan dengan gangguan mengemudi, yang dalam beberapa kasus bisa mematikan.

Bagi kita, media sosial adalah cara untuk mengonsumsi sebagian besar berita dan tetap mendapat informasi, atau tetap berhubungan dengan teman-teman yang tidak dapat mereka lihat sehari-hari dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, alangkah baiknya jika kita bisa membatasi diri, atau berlatihlah untuk detoksifikasi dari media sosial. 

Bagaimana jika kita menggunakan media sosial untuk bisnis atau kehidupan profesional? Tip yang bagus di sini adalah memisahkan pekerjaan dan kehidupan profesional kita jika memungkinkan.  Buat akun media sosial hanya untuk bisnis atau persona profesional. Detoks dari akun pribadi dan pastikan hanya menggunakan akun bisnis untuk bisnis saja.  Tetap terhubung dengan klien dan mitra penting, tetapi hindari drama Twitter, Instagram, TikTok dan Facebook.

Daripada berfokus pada kekurangan kita, cobalah perhatikan apa yang kita miliki. Tambahkan lebih banyak orang positif ke feed kita, sembunyikan orang-orang yang cenderung terlalu menyombongkan diri atau yang memberikan efek negatif kepada kita. Mencoba mengenal diri kita dengan mengetahui apa yang memicu FOMO terhadap diri kita. Dan menyortir apa saja yang boleh masuk dalam feed media sosial kita.

Cobalah detoks digital. Menghabiskan terlalu banyak waktu di ponsel atau aplikasi media sosial dapat meningkatkan FOMO. Mengurangi penggunaan, atau bahkan melakukan detoks digital di mana kita dapat beristirahat dari perangkat digital, dapat membantu kita lebih fokus pada hidup tanpa membuat perbandingan terus menerus, atau sibuk mengurusi urusan orang lain.

Langkah untuk detoks media sosial yang sukses hanyalah mencobanya. Bahkan jika ragu atau tidak yakin apakah kita bisa melakukannya, cobalah di akhir pekan.  Lihat bagaimana perasaan kita setelah 2 atau 3 hari berturut-turut tidak menggunakan media sosial. Coba seminggu dan perlahan-lahan maju ke sebulan penuh. Banyak orang menemukan bahwa setelah detoks media sosial mereka, mereka tidak pernah ingin kembali.  Ini merupakan langkah pertama untuk hidup yang jauh lebih tenang dan sederhana.

Jika detoks digital tidak memungkinkan, pertimbangkan untuk membatasi penggunaan aplikasi media sosial tertentu. Hapus sementara aplikasi tersebut, tetapkan batas harian tentang seberapa banyak kita akan menggunakannya. Hal inipun semata-mata untuk kesehatan mental kita sendiri, dan menjadi lebih fokus kepada hidup yang kita jalani.

(DK-TimKB)

Sumber Foto : UIBS Clinic