Dalam keseharian di kehidupan kita, kita dituntut untuk menjadi positif dalam segala hal, baik berkata-kata, bertindak maupun berpikir. Ternyata kepositifan bisa mengandung sisi gelap, sering disebut Toxic Positivity. Menjadi positif kok bisa jadi toxic? Apakah kita termasuk di dalamnya?
Toxic Positivity adalah kondisi dimana sikap atau pikiran positif yang kita lakukan, dengan harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Keyakinan bahwa dengan berpikir positif akan menjadi cara yang tepat untuk mengatasi masalah. Kitapun bisa menjadi sumber Toxic Positivity apabila kita memberikan nasihat kepada teman untuk berpikiran positif, padahal kita tahu bahwa teman kita sedang meluapkan emosinya.
Toxic positivity juga merupakan keyakinan bahwa tidak peduli seberapa parah atau sulitnya suatu situasi, kita harus mempertahankan pola pikir positif. Meskipun ada manfaat untuk menjadi optimis dan terlibat dalam pemikiran positif, toxic positivity menolak semua emosi yang sulit, demi tampilan yang ceria dan sering kali positif palsu.
Memiliki pandangan hidup yang positif baik untuk kesehatan mental Anda. Masalahnya adalah, hidup tidak selalu positif. Kita semua memiliki emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Banyak emosi yang seringkali tidak menyenangkan, perlu dirasakan dan ditangani secara terbuka dan jujur untuk mencapai penerimaan dan kesehatan psikologis yang lebih baik.
Toxic positivity membawa pemikiran positif yang ekstrem dan berlebihan. Sikap menyangkal jejak emosi manusia yang tidak sepenuhnya bahagia atau positif.
“Segala sesuatu yang berharga dalam hidup dimenangkan dengan mengatasi pengalaman negatif. Setiap upaya untuk melarikan diri dari hal negatif, untuk menghindarinya atau menghentikannya atau membungkamnya, hanya akan menjadi bumerang. Menghindari penderitaan adalah suatu bentuk penderitaan. Menghindari perjuangan adalah perjuangan. Penolakan kegagalan adalah kegagalan. Menyembunyikan apa yang memalukan itu sendiri merupakan bentuk rasa malu” – Mark Manson
Beberapa contoh yang mungkin kita temui atau kita lakukan dalam hidup kita sendiri,
- Ketika sesuatu yang buruk terjadi, seperti kehilangan pekerjaan, kita mungkin akan berkata untuk “tetap positif” atau “lihat sisi baiknya”. Meskipun komentar seperti itu sering kali dimaksudkan untuk menunjukkan simpati. Padahal sesungguhnya ada emosi yang perlu disadari dan dirasakan, sehingga kita bisa mengatasinya.
- Setelah mengalami rasa kehilangan, kita mungkin berkata bahwa “segala sesuatu terjadi karena suatu alasan.” Padahal kita menghindari emosi atau rasa yang sedang kita alami dan kita harus belajar menyikapinya.
- Saat mengungkapkan kekecewaan atau kesedihan, kita mungkin berkata bahwa “kebahagiaan adalah pilihan.” Ini menunjukkan bahwa jika seseorang merasakan emosi negatif, itu salah mereka sendiri karena tidak “memilih” untuk bahagia.
Menjadi manusia yang sehat mental melibatkan kesadaran akan diri kita sendiri dan bagaimana kita bertingkah laku secara manusiawi. Jika kita mengenali diri kita sebagai pemancar toxic positivity, inilah saatnya untuk tidak lagi seperti itu. Kita hanya menyakiti diri sendiri dan orang-orang yang paling kita sayangi dengan bersikeras pada pola pikir monokromatik ini. Daripada mempraktikkan toxic positivity, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Lebih baik kita melakukan keseimbangan dan penerimaan emosi baik dan buruk.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia diciptakan memiliki rasa atau emosi yang harus kita lewati, entah itu negatif atau positif. Kita hanya perlu untuk menyadarinya, menerima segala bentuk emosi yang terjadi, merangkulnya menjadi bagian dari kita. Dan ketika semuanya sudah terlewati, kita akan melihat dan sadar bahwa pengalaman emosi yang kita lalui memberikan hasil yang bisa kita lihat di kemudian hari.
Jika kita mendapati diri kita menunjukkan toxic positivity, hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk diri sendiri adalah menerima perasaan kita tanpa menghakiminya. Kita memiliki hak untuk emosi kita sendiri. Ketika kita mendapati diri kita menghindar atau menangkis emosi yang sulit, cobalah hadir untuk emosi-emosi itu. Duduklah dengan mengakui rasa itu, daripada mencoba mengabaikannya.
Dan jika kita berurusan dengan teman atau anggota keluarga yang mendorong toxic positivity saat kita merasa sedih, penting untuk berdiri teguh dalam kebenaran kita sendiri. Hanya kitalah yang tahu persis bagaimana perasaan kita.
It’s okay not to be okay. Menerima perasaan kita sendiri (dan perasaan orang lain) tanpa penghakiman adalah sebagai bentuk untuk mengatasi toxic positivity. Dan meskipun pada awalnya mungkin tidak mudah, seiring waktu, emosi-emosi yang sulit itu akan terasa tidak terlalu sulit. Kebahagiaan sejati tidak datang dari menekan emosi negatif dan menggembar-gemborkan pernyataan perasaan-baik.
Berlatihlah mindfulness. Dengan berkesadaran penuh dan berada disini saat ini (present moment) adalah langkah pertama untuk memahami kehidupan emosional. Cobalah mindfulness hanya dengan meluangkan waktu tenang untuk memperhatikan bagaimana emosi kita dan apa yang terjadi dalam tubuh. Jangan fokus pada satu pikiran atau sensasi, perhatikan semuanya. Jika melihat adanya negativitas, jangan menilai diri sendiri untuk itu, cukup amati dan jangan dihakimi. Penting untuk memperhatikan perasaan negatif kita dan mengakui informasi yang mereka berikan kepada kita tanpa kehilangan diri kita di dalamnya. Akan sangat membantu untuk mulai belajar bagaimana menjadi sadar ketika kita tenang. Dengan begitu, ketika kita berada dalam keadaan yang lebih emosional, kita sudah memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Mengenali bahwa emosi adalah informasi atau alat agar kita memperhatikan diri kita, daripada hanya berfokus pada bagaimana emosi membuat kita tenggelam dalam rasa.
Rasa syukur akan datang setelah proses menyerah pada emosi kita yang menyakitkan. Kita akan bisa lebih melihat hal-hal yang bisa kita syukuri.
(DK-TimKB)
Sumber Foto : Scoop Empire
Berita lainya
Terapi Kreatif: Mengungkap Potensi Penyembuhan Melalui Seni
Duck Syndrome: Menjaga Ketenangan Di Tengah Tekanan
Kesederhanaan: Kunci Hidup Bahagia Dan Seimbang