Kulit Bundar

New Age of Sports Community

Element6
Element6

Mengenal Imposter Syndrome, Meragukan Diri Sendiri


Imposter Syndrome adalah pengalaman psikologis internal dimana seseorang merasa seperti orang palsu di beberapa area kehidupannya, terlepas dari kesuksesan apa pun yang telah dicapai di area tersebut. Kita mungkin menderita sindrom tersebut  saat kita secara konsisten mengalami keraguan diri, bahkan di area di mana Anda biasanya unggul. Imposter syndrome ini mungkin terasa seperti gugup dan gelisah. Dan dapat termanifestasi sebagai negative self talk. Gejala kecemasan dan depresi sering menyertai imposter syndrome ini.

Syndrom ini bukanlah penyakit mental yang dapat didiagnosis. Istilah ini biasanya diterapkan pada kecerdasan dan prestasi, meski juga memiliki kaitan dengan perfeksionisme dan konteks sosial.

Biasanya mereka yang mengalaminya bergumul dengan perfeksionisme, dan neurotisisme. Lingkungan yang kompetitif juga dapat mempengaruhi. Misalnya, banyak orang yang memiliki impostorisme menghadapi tekanan kuat tentang prestasi akademik dari orang tua mereka di masa kanak-kanak.

Beberapa karakteristik umum dari imposter syndrome meliputi

  1. Ketidakmampuan untuk menilai kompetensi dan keterampilan secara realistis
  2. Mengaitkan kesuksesan dengan faktor eksternal
  3. Membebani kinerja
  4. Takut tidak akan memenuhi harapan
  5. Berprestasi
  6. Self sabotage
  7. Keraguan diri
  8. Menetapkan tujuan yang sangat menantang dan merasa kecewa saat gagal

Bagi sebagian orang, imposter syndrome dapat memicu motivasi untuk berprestasi, tetapi hal ini biasanya harus dibayar dengan rasa cemas yang terus menerus. Misalnya, ketika kita harus presentasi dan akhirnya memaksa kita untuk begadang untuk berlatih, hal tersebut mengakibatkan rasa cemas yang berlebihan.

Foto : CEO Today

Masalah dengan imposter syndrome adalah bahwa pengalaman melakukan sesuatu dengan baik tidak mengubah keyakinan. Pikiran masih mengganggu di kepala. Semakin banyak yang dicapai, semakin merasa seperti penipu. Seolah-olah tidak dapat menginternalisasi pengalaman suksesnya. Proses pemikirannya adalah jika dapat melakukannya dengan baik, itu pasti hasil dari keberuntungan. Biasanya tidak membicarakan perasaannya dengan siapa pun dan berjuang dalam diam, sama seperti penderita gangguan kecemasan sosial.

Untuk lebih memahami apa itu imposter syndrome, mungkin berguna untuk melihat seperti apa bentuknya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana rasanya mengalami sindrom tersebut,

  1. Kita telah bekerja dalam peran tertentu selama beberapa bulan, namun ketika orang memanggil kita dengan gelar formal, kita merasa seperti seorang penipu karena belum menguasai posisi itu.
  2. Kita telah memulai bisnis sendiri, namun tidak suka mempromosikan diri sendiri karena tidak memiliki tingkat pengalaman atau keahlian yang sama dengan orang lain di bidang tersebut, dan merasa seperti seorang penipu.
  3. Kita telah dinominasikan untuk suatu penghargaan, tetapi merasa seperti seorang penipu pada suatu ceremony karena merasa prestasi kita tidak cukup baik.

Awalnya, konsep imposter syndrome dianggap berlaku pada sebagian besar wanita berprestasi. Tetapi sekarang, telah diakui sebagai fenomena yang dialami secara lebih luas. Imposter syndrome dapat memengaruhi siapa pun, tidak peduli status sosial, latar belakang pekerjaan, tingkat keterampilan, atau tingkat keahlian mereka.

Jika kita bertanya-tanya apakah kita mungkin menderita imposter syndrome, tanyakan pada diri pertanyaan-pertanyaan berikut,

  1. Apakah kita menderita karena kesalahan atau kekurangan kecil dalam pekerjaan?
  2. Apakah kita mengaitkan kesuksesan dengan keberuntungan atau faktor luar?
  3. Apakah kita peka terhadap kritik yang membangun?
  4. Apakah kita merasa pasti akan ketahuan sebagai orang palsu?
  5. Apakah kita meremehkan keahlian kita sendiri, bahkan di area di mana kita benar-benar lebih terampil daripada yang lain?

Dalam studi paling awal, para peneliti menemukan bahwa imposter syndrome dikaitkan dengan faktor-faktor termasuk dinamika keluarga awal. Penelitian menunjukkan, bahwa fenomena tersebut terjadi pada orang-orang dari semua latar belakang, usia, dan jenis kelamin.

Penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan dan dinamika keluarga dapat memainkan peran penting dalam imposter syndrome. Secara khusus, gaya pengasuhan yang ditandai dengan sikap mengontrol atau terlalu protektif dapat berkontribusi pada perkembangan sindrom tersebut pada anak-anak. Misalnya, seseorang mungkin berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi prestasi, mungkin memiliki orang tua yang bolak-balik antara memberikan pujian dan bersikap kritis. Studi juga menunjukkan bahwa orang yang berasal dari keluarga yang mengalami konflik tingkat tinggi dengan jumlah dukungan yang rendah mungkin lebih mungkin mengalami sindrom ini.

Ketika memulai kuliah mungkin membuat banyak orang merasa seolah-olah tidak pantas dan tidak mampu. Atau juga mungkin mengalami perasaan yang sama saat memulai posisi baru di tempat kerja. Imposter syndrome tampaknya lebih umum terjadi ketika orang mengalami transisi dan mencoba hal-hal baru. Tekanan untuk mencapai dan berhasil, dikombinasikan dengan kurangnya pengalaman, dapat memicu perasaan tidak mampu dalam peran dan lingkungan baru ini.

Ciri-ciri kepribadian tertentu juga dikaitkan dengan risiko lebih tinggi mengalami imposter syndrome.  Beberapa sifat atau karakteristik yang mungkin berperan antara lain,

  1. Self-efficacy rendah, mengacu pada keyakinan kemampuan kita untuk berhasil dalam situasi tertentu.
  2. Perfeksionisme, memainkan peran penting dalam imposter syndrome. Orang dengan perfeksionisme mungkin berpikir bahwa segala sesuatunya harus sempurna, dan tidak boleh mengatakan hal yang salah. Dan juga mungkin kesulitan meminta bantuan dari orang lain dan menunda-nunda karena standar tinggi dari diri sendiri.
  3. Neurotisme, adalah salah satu dari lima dimensi kepribadian besar yang terkait dengan tingkat kecemasan, ketidakamanan, ketegangan, dan rasa bersalah yang lebih tinggi.
  4. Kecemasan sosial, mungkin tumpang tindih dengan sifat imposter syndrome. Seseorang dengan gangguan kecemasan sosial mungkin merasa seolah-olah tidak termasuk dalam situasi sosial atau kinerja.

(DK-TimKB)

Sumber Foto : Resources to Recover