Ketakutan dapat memiliki efek psikologis yang kuat, yang mungkin kita sadari maupun tidak disadari. Namun fear-based ini menjadi senjata utama bagi yang memiliki kepentingan. Hal ini lah yang harus kita sadari, dan membuat kita lebih memahami cara kerjanya.
Sejak saat kita lahir, lingkungan kita telah memaksakan apa yang harus kita lakukan, apa yang harus dipikirkan dan apa yang harus dirasakan, dan telah mengkondisikan kita untuk percaya bahwa jika kita tidak mengikuti aturannya, kita pasti akan mendapat masalah serius. .
Orang tua kita pun mengajarkan untuk berperilaku dengan cara tertentu. Jika kita melakukannya, mereka akan memberi hadiah, dan jika tidak, mereka akan menghukum kita. Secara alami, setiap anak mematuhi orang tuanya, karena anak bergantung pada orang tuanya. Mau tidak mau, kita hidup dan berkembang sesuai pengkondisian yang kita alami.
Di sekolah kita diajarkan untuk berpikir dengan cara tertentu. Sekolah mengajarkan apa yang harus kita lakukan,tetapi tidak diajarkan bagaimana mengembangkan pemikiran kita sendiri serta dasar-dasar menghadapi masalah. Dan semua anak diajarkan hal yang sama. Jika kita berpikir dengan cara yang berbeda dari teman sekelas kita, guru akan memberi tahu kita bahwa kita salah, kita harus berpikir dan bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Oleh karena itu, sebagai siswa kita belajar untuk mengkompromikan pemikiran kita agar terhindar dari masalah.
Agama mengajarkan kita untuk mengikuti semua ajarannya, kitab suci, juga pemimpin agama. Hal tersebutmengajarkan kita untuk memiliki kepercayaan pada orang lain, tetapi tidak untuk memiliki kepercayaan pada diri kita sendiri. Agama mengajarkan kita bahwa, jika kita melakukan hal-hal tertentu, kita akan dihadiahi kebahagiaan surga, tetapi jika tidak kita akan dihukum di api neraka. Tidak heran, jika banyak dari masyarakat kita memegang agama dengan keyakinan yang kuat.
Orang tua, sekolah, dan agama menggunakan satu hal yang sama untuk membuat kita melakukan apa yang mereka ingin kita lakukan, fear-based atau rasa takut. Untuk memanipulasi seseorang, pertama-tama buatlah dia takut. Begitu takut, dia akan siap menerima saran yang ditawarkan.
Taktik ini terus digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi kita tidak menyadarinya. Lihat dengan jelas sekeliling kita. Politisi dipilih dengan membujuk massa melalui penggunaan rasa takut. Perusahaan menjual produk mereka dengan memanipulasi ketidakamanan konsumen dalam periklanan. Jurnalis dan media memengaruhi opini publik. Dan ini hanya beberapa contoh.
Ketakutan adalah senjata terbaik. Yang saat ini sangat kita rasakan dan kita hadapi adalah, pandemik yang belum selesai dan resesi yang menghantui.
Rasa takut, tanpanya kita tidak akan bisa bertahan. Mengapa? Karena emosi ini lah yang memperingatkan kita tentang potensi ancaman terhadap kelangsungan hidup kita dan mendorong kita untuk melindungi diri kita sendiri.
Bayangkan kita sedang berjalan di luar dalam kegelapan dan tiba-tiba kaget melihat seekor ular melompat tepat di depan kaki kita. Rasa takut segera muncul, dan mulai berkeringat, detak jantung meningkat, dan kadar kortisol serta adrenalin meningkat. Ular itu bisa saja berbisa. Dalam situasi berbahaya seperti itu, respons alami kita kemungkinan besar adalah lari dari ular, melukai, membunuh, atau melumpuhkan ular itu.
Ketakutan, seperti yang ditunjukkan contoh di atas, adalah mekanisme perlindungan yang merupakan bagian dari naluri bertahan hidup kita, membantu kita tetap hidup. Tapi inilah masalahnya, ketika mekanisme itu menjadi terlalu aktif, dan kita mulai takut pada hal-hal yang tidak benar-benar menimbulkan ancaman bagi kita. Atau malah belum tentu terjadi. Hal tersebut dapat merusak tidak hanya kesejahteraan kita (karena terlalu banyak stres), tetapi juga dengan keputusan kita.
Pihak-pihak yang manipulatif sangat menyadari hal tersebut dan mencoba yang terbaik untuk mengontrol cara kita berpikir dan berperilaku dengan menggunakan taktik berbasis rasa takut (fear based).
Ketakutan menjadi alat yang ampuh dalam mencari keuntungan. Banyak pihak sangat paham dan mengetahui hal ini, dan melakukan apapun untuk memanfaatkannya. Dengan fearmongering, mereka mampu menarik perhatian kita dan mengeksploitasi kita demi keuntungan finansialnya.
Lalu bagaimana kita menghadapi fearmongering atau manipulasi fear-based? Hal pertama dan terpenting adalah mengidentifikasi rasa takut itu, ketika rasa takut itu muncul di dalam diri kita, cobalah untuk melihat apa adanya tanpa menghindari atau berpura-pura tidak takut. Dengan membawa rasa takut ke dalam kesadaran, kita dapat memeriksa dari mana asalnya dan pesan apa yang ingin disampaikannya kepada kita. Dan akan membantu kita untuk lebih memahami dan menghadapinya. Penelitian menunjukkan bahwa hanya mengakui emosi dan mengidentifikasi rasa takut secara eksplisit dapat membantu mengelola efek selanjutnya pada perilaku kita.
Kedua, ingatlah untuk mengasosiasikan perasaan takut dengan mendapatkan kembali kejernihan mental dan emosional. Luangkan waktu untuk mendidik diri sendiri tentang masalah yang sedang dihadapi. Memungkinkan kitauntuk menilai pilihan dan mengambil keputusan dengan informasi yang lebih baik, tetapi juga untuk membedakan apa yang harus dtakuti dari apa yang tidak seharusnya kita takuti.
Terakhir, bertindaklah dengan kesadaran dan bertanggung jawab atas tindakan kita. Hanya karena politisi favorit, media sosial, atau iklan memberi tahu apa yang harus dilakukan atau dipercaya, bukan berarti kita harus melakukannya atau takut.
Mirisnya adalah bertahun-tahun kita hidup dalam pengkondisian, dan terpenjara oleh ketakutan yang kita miliki. Untuk melepaskan diri dari pengkondisian itu, pastikan untuk tidak menerima begitu saja kebenaran apa pun yang dilontarkan kepada kita. Kembalilah kepada kesadaran diri kita sendiri. Dan yakinlah bahwa segalanya akan baik-baik saja.
(DK-TimKB)
Sumber Foto : NPR
Berita lainya
Cara Mengubah Kecemasan Menjadi Motivasi
Mengenal Ashwagandha: Manfaat Dan Penggunaannya
Yūgen: Filosofi Jepang Untuk Kesejahteraan